baca cerita sebelumnya disini :)
“stop!”
ucapku dengan nada keras.
“siapa
sih kamu?” lanjutku yang semakin kesal dengan segala teka teki nya. ku tatap
kedua matanya dengan lekat. Ada kehangatan yang aku rasakan disana.
Dia
terdiam. Tetap menatapku dalam dalam. Ada nada kesedihan yang ku temukan
disana. Disudut mata nya yang dibatasi oleh lensa kaca mata nya.
“aku..
aku.. seseorang yang menghilang dari hidupmu 7 tahun yang lalu” ucapnya dengan
mata berbinar tetapi penuh arti meyakinkan. sosoknya tetap menatapku lebih
lekat. Aku masih tetap tak mengerti. Lebih tepatnya aku tak menyangka dengan
apa yang ia katakan.
“aku
Wisnu, Ras. Apa kamu sudah tidak mengenalku?” tegasnya dengan melepaskan kaca
mata yang melekat di wajahnya.
“wisnu?
Bramantya Wisnu Prayoga” tanyaku dengan antusias
“bahkan
kamu masih inget nama ku dengan lengkap” tangkas nya dengan senyum yang
mengalun di bibirnya. Sangat tulus.
“kamu
beneran wisnu? Wisnu yang 7 tahun lalu pindah sekolah ke Bali?” tanyaku semakin
tak percaya dengan apa yang ditakdirkan Tuhan detik ini. Aku menemukan nya. aku
bertemu dengan nya lagi setelah ruang rindu yang mengeropos selama itu.
“
iya benar. Aku adalah cinta pertama mu yang dulu kau tuliskan surat cinta ini”
ucapnya sembari mengeluarkan secarik kertas yang sudah lusuh dari dalam tasnya.
Lalu tangan nya menyodorkan kertas itu kepadaku.
“apa
ini?”
“ini
surat yang 7 tahun lalu kamu tulis untuk ku. Masih ingat? Surat cinta tanpa
amplop” dia tertawa ringan menatap ekspresi ku yang mulai tak karuan.
“oh,
iya aku masih ingat” aku tersenyum cemas. Ku buka lipatan kertas berwarna putih
itu, kertas dari sobekan sebuah buku merk ‘kiky’. Aku masih ingat, itu buku
matematika dulu, ketika aku kelas 1 smp. Tulisan ku yang dulu mulai terlihat
dan ku baca surat itu. Tulisan ku dulu memang jelek --besar besar tak
beraturan. Aku mulai tertawa kecil membaca tulisan lugu tentang cinta dari
bocah usia 13 tahun itu.
“mengapa
tertawa?” tanya nya.
“lucu
ya dulu. Bisa bisa nya aku nulis surat seperti itu” jawabku sembari
menggelengkan kepalaku seperti tak percaya.
“kok
kamu masih menyimpan nya, wisnu?” tanya ku lanjut.
“karena
kamu masih tersimpan dihatiku, Ras” ucapnya membuatku kaget. Tapi aku mencoba
untuk tenang.
Hujan
pun masih tetap memainkan nyanyian rindu nya yang bisa di dengar oleh
orang-orang tertentu. Aku menengadahkan tangan, merasakan bulir bulir hujan
yang membasahi telapak tangan ku dengan lembut. Mata ku melihat pemandangan
sekeliling yang basah oleh hujan senja. Dan aku masih disini, berdua bersama
dia.
“Laras?”
panggilnya seraya menatap wajahku.
Aku
menghentikan bermain hujan di telapak tanganku. Aku kembali menatap wajah itu.
Sosok yang mulai berubah tampilan nya, sekarang ia memakai kacamata, mempunyai kumis
tipis, dia bertambah tinggi tidak seperti dulu yang tingginya hanya lebih
sedikit dariku. Dia sahabat kecilku. Sejak kelas 4 SD kita berteman. Dia
pindahan dari Bali. Dulu, hari hari tak terasa ku lewati bersamanya. Seseorang
yang sering menemaniku berjalan ke masjid, walaupun dia hanya melihatku. Aku
juga sering menemani nya berjalan ke pura yang dekat dengan sekolahan untuk
melihat dia sembayang. Lucu memang. Agama kita berbeda. Tetapi dulu kita tidak
paham tentang itu.
Aku
masih menatap matanya yang mulai cemas.
“kamu
kuliah disini?” tanya ku mengalihkan.
“iya
Laras, aku mahasiswa jurusan arsitek semester 1 disini” jawabnya
“oh.
Gambarmu dari dulu bagus. Cocok kalo kamu jadi arsitek?”
“dan
kamu menjadi penulis, cocok kan? itu mimpi kita dulu ya”
“hehe
iya gurauan anak kecil yang masih suka berimajinasi”
“Ras,
apakah yang dulu kamu tulis selama 7 tahun itu benar? Kamu menulis kamu suka
dan cinta sama aku?”
“oh,
iy..iy.. iya, dulu aku memang punya rasa seperti itu terhadapmu”
“maaf
Ras, sebenarnya waktu kamu memberikan surat itu, aku mau pamit sama kamu. Aku
pindah ke Bali karena pekerjaan ayahku yang mendesak agar menetap disana. Aku
merasa bersalah sama kamu, meninggalkan mu. Dan semua kontak nomer telepon mu
pun hilang. Aku takut kamu marah sama aku Ras” jelasnya panjang lebar. Aku
tersenyum, tulus.
“waktu
itu, keesokan harinya aku mencarimu wis, kamu tidak masuk sekolah. Aku memang
kaget ketika bu Lisa berkata kamu sudah pindah sekolah ke Bali. Aku memang
sempat membencimu saat itu, konyol ya? hahaha” jelasku
“sampai
sekarang aku tidak berpikir itu konyol Ras, butuh bertahun tahun aku menemukan
alasan untuk bertemu kamu, aku masih sama mempunyai rasa seperti dulu Ras”
“selama
ini berusaha untuk kuliah satu universitas dengan mu. Aku mencari tau lewat
teman dekatmu Tisa. Dan kamu tau? Aku hampir gila ketika setahun yang lalu aku
tidak diterima di universitas ini. Alasanku Cuma kamu, Laras” lanjutnya panjang
lebar membuat mataku mulai berkaca kaca. Aku tak bisa berkata apa apa. Hanya
menatap wajahnya yang mulai tersentuh emosi.
“Laras,
aku ingin mewujudkan mimpi mimpi kita dulu”
“aku
nggak bisa Wisnu. Aku sudah mempunyai seseorang yang mencintaiku. Dia yang
menemani ku selama kamu pergi dulu. Setelah setahun kepindahanmu. Aku bertemu
dia” airmata ku mulai menetes saat itu.
“Laras?”
ucapnya dengan jelas tergambar kekecewaan di wajahnya.
“maaf,
aku nggak bisa meninggalkan dia, Wisnu. kita berbeda. nggak mungkin sama. dulu,
kita memang anak kecil yang masih bermimpi tentang cerita dongeng. Tapi? Sekarang
udah beda” jelasku tak kuat menahan tangis. Dia yang dulu aku cintai sedalam
itu –cinta pertama. Kata orang cinta pertama itu susah untuk dilupakan. Ya.
Memang benar. Aku mengalami hal yang seperti itu.
“oke.
Aku ngerti. Anggap aja yang tadi aku tidak pernah berkata seperti itu” kata nya
dengan mata yang sudah memerah.
“lupakan
aku. Kamu bisa mendapatkan seseorang yang lebih dari aku. Dan aku yakin. Kamu
bisa mencintainya lebih dari ini” air mata ku menetes lagi. Wisnu mengusap
airmata ku dengan jari-jarinya yang lembut, tulus.
“iya
Ras, maafkan aku membuatmu menangis”
Dia
tersenyum kepadaku. memeluk ku dengan erat. membuat ku jauh lebih tenang dan
lega.
“jangan
khawatir sama aku, aku baik baik saja” ujar wisnu menyakinkan.
“kita
tetap sahabat kan? ” aku tersenyum kepadanya.
“iya
dong” jawab wisnu dengan tertawa. Tawa nya yang selalu ku rindukan selama ini.
Masih sama seperti dulu.
Aku
bergegas pergi meninggalkan wisnu setelah Arya --kekasihku. membawakan payung
menemuiku untuk menjemputku.
Aku
tersenyum dan melambaikan tangan kepada Wisnu.
Wisnu
memandang sosokku yang lama lama menghilang dari matanya.
Hujan
senja ini benar benar memiliki kisahnya. Kisah yang sewaktu waktu aku rindukan.
Aku tak pernah
menuliskan tentang perbedaan, karena perbedaan
selalu mengingatkanku tentangmu. Dan setelah
bertemu kamu,
aku cukup tau
perbedaan telah membuatmu mencintaiku sedalam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar