aku masih sibuk menulis di buku coretan tulisanku. Tiba-tiba seketika buku ku
tertetes oleh air. Pandanganku berubah menjadi gerimis seperti titik yang
perlahan menjadi segerombol deras yang tak tanggung-tanggung. Aku langsung
melindungi diri dan buku coretanku. Aku tak mau sampai buku itu menjadi basah,
apalagi sampai terbaca oleh oranglain. Buku itu menjadi separuh jiwaku. Disana
aku bisa menuangkan segala pikiranku. Tentang cinta, tentang dia yang selalu
menjadi peran utama di tulisanku.
aku
sudah berteduh di gazebo kampus yang tampak sepi. Mungkin karena sudah terlalu
sore. Mataku masih tak bisa lepas dari tetesan air hujan. Ku tadahkan telapak
tanganku untuk menyentuh tetesan lembut nya. Aku sangat menyukai hujan. Hujan
memberikan arti berbeda dari setiap tetesannya yang berarti. Mungkin bahagia
atau kesedihan. Hujan memiliki resonansi
yang memaksa seseorang untuk mengingat kenangan. Namun seketika langkahku
terkunci dengan kehadiran seseorang disampingku. Aku tak mengenalnya, tapi aku
juga tak asing dengan sosoknya. Seorang pria dengan kaca mata yang melekat di
depan matanya. Dalam suasana yang dingin nya menusuk tulang seperti ini apa
yang harus aku lakukan. Kami berdua tak saling membuka suara hanya lirih. Aku
hanya bisa mendengar bisikan hujan dan selebihnya aku hanya bisa memandangi genangan
hujan di depanku. Sampai aku merasa bosan sendiri.
“udah
lama disini?” tanyanya tenang, mulai mengajakku bicara.
Aku
terdiam. Bagiku itu tak penting, ini pertamakali nya aku berbicara dengan orang
itu. Orang yang tidak ku kenal sama sekali, bahkan belum pernah aku lihat. Aku
tetap masih menyibukkan diri dengan menatap tetesan air hujan yang semakin
menderas.
“kok
malah diem?” dia membuka suara lagi.
Aku
masih terdiam. Tak berani menjawab. Hanya saja aku mencoba melihat wajahnya.
Lalu aku masih tetap tak menjawab. Rasanya sulit untuk mengucapkan kata.
“kamu
masih sama, tetap menyukai diam. Sebenarnya dunia mu yang sebenarnya itu di
tulisan.” ucapnya santai.
“Kok
kamu tau aku suka nulis?” aku kaget, seketika suara itu keluar tanpa sengaja.
“nggak
penting sebenarnya kenapa aku tau”
“orang
aneh.” Ucapku sedikit kesal. Aku penasaran dengan orang ini.
“memang
aku aneh. Hahaha” dia mulai melucu.
Sebabnya menambah rasa kesalku.
Tiba-tiba
matanya menatap mataku. Menatap begitu lekat. Dan aku tak bisa menghindari
tatapannya. Dia seperti magnet. Memaksa mataku untuk menatap matanya. 10 detik.
Waktu yang lama. Lalu ku coba untuk mengalihkan pandanganku. Sepertinya aku tak
asing dengan mata itu.
“dingin?”
dia memulai percakapan lagi.
Aku
masih terdiam. Tak berani menjawab. Bahkan menatapnya lagi. Aku masih
terperangkap oleh guratan-guratan matanya yang mengalir lembut di sudut mataku.
“pasti dingin banget ya? Ini hujan nya nggak
reda-reda. Bisa sampai malam kalo begini” ucapnya dengan suara yang kurang dari
satu jam ku dengar sudah membuatku merasa nyaman.
Tiba-tiba
dia memakaikan jaket nya di tubuhku. Dengan senyum yang lagi lagi tidak asing
untukku. Dan lagi lagi aku hanya bisa diam dengan apa yang dia lakukan.
“makasih...
ehmm....” ucapku canggung. aku lupa untuk mengetahui namanya.
“harusnya
kamu nggak usah repot repot seperti ini” lanjutku
“nggak
apa apa kok, perempuan memang harus selalu dilindungi kan?”
Mendengar
kata itu tiba-tiba memori otakku memaksa untuk mengingatnya. Ya, -- Dia.
“oh”
jawabku datar
aku
menjadi semakin bingung. Ketika ingatanku tentang dia mulai muncul, cinta
pertama ku. Yang selama 7 tahun ini aku tak pernah tau kabar tentang nya.
“everything
gonna be oke, Laras” ucapnya yang membuatku tersontak kaget, bagaimana mungkin
dia mengetahui nama ku. Bahkan kata-kata
yang keluar dari mulutnya pun seperti tak asing lagi bagiku, seperti Dia, sosok
yang bernama Wisnu.
“Laras?”
tanya ku dengan wajah terkejut, mencoba menahan rasa penasaran ku yang semakin membuncah oleh
sosok yang berada di samping ku ini sungguh misterius.
“iya,
nama mu Laras kan?”
“darimana
kamu tahu?”
“bukan
aku kalo nggak tau kamu hhaaha” ucapnya ringan.
“kamu
anak sastra indonesia?” tanya nya lanjut
“liat
kan kamu melucu!” aku menatap matanya
lekat. Ada sedikit ketakutan yang aku rasakan.
“kamu
senang menulis kan? Kamu suka sastra,
kamu suka hujan, kamu suka awan, kamu suka pantai, kamu suka bukit. Dan semua
yang kamu lihat di mata mu, kamu selalu mematrikan nya di dalam perasaan dan
hatimu. Lalu kamu torehkan di kertas” ucapnya terus tanpa memberiku kesempatan
untuk bicara.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar