Di
pojok kamar, di sudut sepi
Perlahan ku buka bingkai kepingan pilu
yang sudah lama tak ku lihat.
Perih, pedih, luka, sakit.
beginilah pilu yang aku simpan terlalu
lama.
Entah sampai kapan aku harus menahan
tangis.
Yang menumpuk sudah terlalu jauh.
Tertawa? Ya. Aku bisa. Tawa itu milikku.
Orang lain masih bisa melihatnya.
Oranglain melihat aku tegar.
Melihat aku kuat. Tapi apa adanya aku?
Biar.. biar.. aku egois.
Asal tidak terlihat lemah di mata
mereka.
Sampai aku lelah. Sampai aku sadar.
Aku tidak seperti mereka.
Cukup !
Aku capek harus berpura-pura tegar.
Tapi? Apa! Apa aku harus berteriak memberi tau
semua orang?
Tidak ! Aku hanya bisa teriak memamerkan
semua keresahan
Di sudut sepi berteman kecemasan.
Sampai kapan?
Apa kau ingin sampai pita suaraku habis?
Mengapa ketenangan itu begitu cepat
mereda?
Mengapa kau merusak semua?
Apa dengan cara ini kau merasa puas?
Apa dengan cara ini kau merasa bahagia?
Mengapa?
Ya. Karena pemikiran mu yang ulung!
Hingga mulut mulut manis mereka memaki.
Haruskah sebuah pedang menghunus
kepalamu
Wahai si pemikir ulung?
Yang berpikir dirimu selalu benar.
Yang tak mau mendengarkan oranglain.
Sampai darah terpecik di guratan pedang
yang tak pernah tersentuh itu.
Dan..
Apa harus aku yang melakukannya?
Sempurna !
Ya. Tak ada lagi pilu. Tak ada lagi
teriakan resah
Yang terbuang dari pita suaraku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar